REAKSI DAN POLA PENGHUKUMAN TERHADAP WHITE-COLLAR CRIME

  • Ivonne Kartika Permana Universitas Langlangbuana

Abstrak

Sejak diperkenalkannya konsep White-Collar Crime oleh Sutherland (1939), perdebatan tentang definisi dan berbagai ciri empirisnya telah berlangsung hingga saat ini. Beberapa akademisi tetap menggunakan definisi yang dikemukakan oleh Sutherland (Braithwaite 1985; Coleman 2002; Geiss 1981) dan beberapa lainnya berupaya menggeser fokus dan definisi dari White-Collar Crime (Clinnard & Quinney 1973; Shapiro 1990) atau bahkan beragumentasi bahwa konsep tersebut merupakan bentuk kecacatan konstruksi sosial, tidak tepat, dan merupakan bentuk ideologi individual akademisi yang bias dan didefinisikan secara selektif (Johnson & Leo 1993). Para ahli berkeyakinan bahwa apa yang dikemukakan oleh Sutherland terkait White-Collar Crime merupakan representasi polemik atas korporasi dan dan orang dengan status sosial tinggi, meski pada kenyataannya, sejarah telah mencatat begitu banyak kasus kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terhormat dan korporasi yang dampak kerusakan dan kerugiannya jauh melampaui kejahatan konvensional. Bahkan Jeffrey Reiman (1995) berdasarkan observasinya, menyimpulkan bahwa White-Collar Crime merupakan “The Rich Get Richer and The Poor Get Prison”, Kesimpulan ini senyatanya tercermin pada disparitas sosial atas penghukuman yang terjadi dilapangan. Para pelaku White-Collar Crime cenderung tidak mendapatkan hukuman berat dibandingkan pelaku kejahatan konvensional yang cenderung mendapatkan hukuman lebih berat. Dalam bahasa umum perbandingan ini dapat dikaitkan dengan beberapa alasan, terutama yang berkaitan dengan status dan sumberdaya yang dimikikinya. Sebagai contoh, tingkat pendidikan yang relatif tinggi dan prestise pekerjaan yang tinggi berfungsi sebagai tameng bagi mereka dari tuntutan hukum yang berat.

Diterbitkan
2019-09-16